BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pada masa masa seperti sekarang ini kita
perlu mengetahui, mempelajari, serta mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah para ulama’ yang diantanya adalah
Abu Hasan Al Asy’ari.
Abu Hasan Al Asy’ari telah banyak menghasilkan
karya. Kurang lebih berjumlah 90 kitab dalam berbagai ilmu. Kitab-kitabnya yang
terkenal antara lain Maqalatuul Islamiyyin (Pendapat-pendapat Golongan Islam)
yang berisi aliran-aliran kepercayaan dalam Islam dan kitab ini menjadi kitab
pertama yang membahas masalah tersebut.
Atas dasar itulah penulis ingin membahas sedikit kisah Abu Hasan Al Asy’ari, dengan
harapan bisa memberikan motivasi dan suri tauladan pada kita semua.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Abu Hasan
al-Asy’ari?
2. Bagaimana
Pemikiran Abu Hasan al Asy’ari Dalam Masalah Aqidah ?
3. Apa
saja Ajaran-Ajaran Asy’ariyah ?
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui biografi
Abu Hasan al-Asy’ari.
2. Untuk
Mengetahui Pemikiran Abu Hasan al Asy’ari Dalam Masalah Aqidah.
3. Untuk
Mengetahui Ajaran-Ajaran Asy’ariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Biografi Abu Hasan al-Asy’ari
A. Biografi
Abu Hasan al Asy’ari
Nama lengkap Abu Hasan al Asy’ari
adalah Abu Hasan al Asy’ari al Yamami. Beliau dikenal dengan sebutan al
Asy’ari. Tempat lahir al Asy’ari adalah di kota Basrah pada tahun 260 H atau
873 M dan wafat pada tahun 324 H atau 935 M di kota Bagdad. Imam al Asy’ari
memanfaatkan waktunya di Basrah untuk mempelajari berbagai ilmu. Kemudian
penggembaraannya dilanjutkan ke Bagdad. Di kota Bagdad inilah al Asy’ari
belajar ilmu kalam menurut pemahaman Mu’tazilah yang kurang lebih selama 40
tahun.
Setelah ayah al Asy’ari meninggal,
ibu al Asy’ari menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar
Muktazilah. Hal inilah yang menjadikan otak Beliau terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah. Oleh karena itulah al
Asy’ari menjadi pendukung dan penganut Mu’tazilah tangguh. Adapun guru al
Asy’ari adalah al Athowi’ dan Abu Ali al Jubba’i asy Syakhkhan yang tidak lain
adalah Ayah tiri al Asy’ari.
Al Asy’ari telah banyak
menghasilkan karya. Kurang lebih berjumlah 90 kitab dalam berbagai ilmu.
Kitab-kitabnya yang terkenal antara lain Maqalatuul Islamiyyin
(Pendapat-pendapat Golongan Islam) yang berisi aliran-aliran kepercayaan dalam
Islam dan kitab ini menjadi kitab pertama yang membahas masalah tersebut. Kitab
yang lainnya adalah Al Ibanah ’an Ashulil Addiniyyah (Keterangan Tentang Dasar-dasar
Agama) berisi tentang kepercayaan Ahlu Sunnah dengan memuliakan dan memuji Imam
Ahmad bin Hambal. Kitab lainnya adalah Aluma (Sorotan) berisi bantahan-bantahan
terhadap lawannya mengenai masalah ilmu kalam.
Al Asy’ari juga juga terkategori
ulama ahli hadist., akan tetapi beliau tidak memfokuskan pada bidang ini.
Beliau lebih fokus pada masalah aqidah. Awalnya al Asy’ari menganut aqidah
Mu’tazilah. Tapi pada akhirnya al Asy’ari memutuskan untuk keluar dari
Mu’tazilah dan mengikuti aqidah yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal yaitu
Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Faktor-Faktor Penyebab Keluarnya Al
Asy’ari Dari Mu’tazilah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, diantaranya:
Ada beberapa faktor yang menyebabkan al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, diantaranya:
1. Al Asy’ari mengalami kemelut
jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah.
2. Al Asy’ari melakukan diskusi
dengan gurunya al Jubba’i dan berakhir dengan ketidakmampuan al Jubba’i
menjawab pertanyaan beliau. Ditambah dengan kekejaman kaum penguasa yang
bekerjasama dengan kelompok Mu’tazilah.
3. Al Asy’ari pada bulan Ramadhan
bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama
bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada
sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan.
Al Asy’ari mengumumkan taubat dan
keluar dari Mu’tazilah pada tahun 300 H. Setelah menyatakan memisahkan diri dari
Mu’tazilah, al Asy’ari memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan
salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya
menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa
ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Al Asy’ari menjelaskan bahwa ia
menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan
Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang
diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2.1. Pemikiran
Abu Hasan al Asy’ari Dalam Masalah Aqidah
Pemikiran al Asy’ari berkaitan
masalah aqidah selama masa hidupnya dapat dibedakan menjadi tiga periode.
Sesuai dengan perjalanan dan ijtihadnya dalam masalah aqidah ini. Adapun
periode-periode tersebut adalah:
1. Periode
pertama
Pada periode ini al Asy’ari sebagai penganut kuat
aqidah Mu’tazilah. Pengaruh gurunya sekaligus ayah tirinya ini menjadikan al
Asy’ari hidup dalam keyakinan Mu’tazilah selama kurang lebih 40 tahun. Periode
ini menjadikan al Asy’ari mengetahui seluk beluk Mu’tazilah sampai kelebihan dan
kelemahannya.
2. Periode
kedua
Pada periode ini al Asy’ari berbalik arah dari
penganut Mu’tazilah menjadi berseberangan dengan Mu’tazilah. Di antara
pemikiran beliau pada periode ini adalah menetapkan 7 sifat Allah lewat logika akal,
yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang
bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan
seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih
belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya
dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu
punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
3. Periode
ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7
sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang
shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil,
tamtsil dan tahrif. Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu
benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak
melakukan:
• takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah,
tangan dan kaki Allah
• ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah,
tangan dan kaki
• tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki
Allah dengan sesuatu
• tahrif: menyimpangkan makna
wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis
kitab "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci
akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu
sumber sekitar tiga ratus .
Inilah perjalan pencarian aqidah
yang shahih Imam Abu Hasan al Asy’ari. Dari perjalanan inilah menumbuhkan
kekaguman umat atas beliau. Pemikiran-pemikiran beliau tertuang dalam
kitab-kitab beliau dan dibangun dari pendapat para shahabat dengan penerimaan
atas berbagai sifat Allah apa adanya, tanpa penakwilan macam-macam. Pemikiran al
Asy’ari telah menyelamatkan aqidah umat dari kerusakan pemikiran yang
dilahirkan oleh Mu’tazilah.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah
dan Bani Abbasiyah adalah masa-masa dimana ilmu kalam mengalami perkembangan
yang cukup cepat. Hal ini salah satunya disebabkan karena masukkanya
pemikiran-pemikiran filsafat ke dalam benak umat Islam dan banyaknya
kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan oleh ulama-ulama Islam. Sehingga dari
penerjemahan ini muncullah para ulama kalam yang sesunggunya keberadaan mereka
adalah dalam rangka melindungi aqidah umat Islam dari pemahaman-pemahaman
filsafat.
Keberadaan ilmu kalam sendiri
menjadi pertentangan dikalangan ulama. Sebagian besar ulama salaf mengharamkan
ilmu kalam, seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, serta
seluruh ahli hadist dan kalangan ulama salaf. Menanggapi masalah kalam ini Imam
Ahmad bin Hambal berkata: ” Ahli ilmu kalam tidak akan beruntung untuk
selamanya. Engkau hampir tidak akan melihat seseorang yang mempelajari ilmu
kalam selain dalam lubuk hatinya terdapat banyak keraguan”.
Imam Muhammad Abu Zahrah dalam Ahmad al Qashah berkata ” Pada akhir masa Umawi, pemikiran bangsa Arab didatangi oleh filsafat Yunani lewat bangsa Persia. Dan sebagian Mawali (Orang-orang yang masuk Islam dari bangsa non Arab) yang telah masuk Islam sangat ahli dalam filsafat Yunani. Dan pada masa inilah filsafat tersebar luas dikalangan kaum Muslim disebabkan percampuran mereka dengan bangsa Persia, Yunani dan Romawi. Dengan masuknya berbagai macam filsafat ini memunculkan kajian filsafat seputar aqidah. Melalui proses inilah muncul aliran-aliran dalam masalah aqidah.
Imam Muhammad Abu Zahrah dalam Ahmad al Qashah berkata ” Pada akhir masa Umawi, pemikiran bangsa Arab didatangi oleh filsafat Yunani lewat bangsa Persia. Dan sebagian Mawali (Orang-orang yang masuk Islam dari bangsa non Arab) yang telah masuk Islam sangat ahli dalam filsafat Yunani. Dan pada masa inilah filsafat tersebar luas dikalangan kaum Muslim disebabkan percampuran mereka dengan bangsa Persia, Yunani dan Romawi. Dengan masuknya berbagai macam filsafat ini memunculkan kajian filsafat seputar aqidah. Melalui proses inilah muncul aliran-aliran dalam masalah aqidah.
Diantara aliran-aliran itu adalah
Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyyah. Eksistensi
Mu’tazilah pada abad ke 3 dan 4 H melemah. Masa kejayaan Mu’tazilah telah
rapuh, sehingga kian samar ajarannya ditelinga umat. Namun ilmu kalam, sebagai
sebuah disiplin ilmu yang rajin membantah para ahli bid’ah dan penyimpangan
lainnya tetap eksis. Dari sini muncul madzab Abu Hasan al Asy’ari yang dikemudian
hari dikenal dengan aliran Asy’ariyah. Madzab ini seolah menjadi sumber mata
air ditengah dahaganya umat atas kebingungan mereka diantara madzab-madzab
aqidah yang ada.
Abu Hasan al Asy’ari membangun dan
mengadopsi pendapat-pendapatnya sesuai dengan pendapat fuqaha dan muhaddistin.
Abu Hasan al Asy’ari mendapat banyak dukungan dari kalangan rakyat juga
penguasa. Dia menyebarkan pengikutnya ke berbagai daerah dan al Asy’ari
mendapat gelar Imam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dari mayoritas ulama pada masa itu.
3.1. Ajaran-Ajaran
Asy’ariyah
Adapun ajaran Asy’ariyah dalam
perkembanganya meliputi banyak hal. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tauhid
Abu Hasan al Asy’ari pada periode pertama dalam
masalah aqidah membuat takwil dan berkata bahwa al yadd berarti “kekuatan” dan
barangsiapa yang mengatakan bahwa al yadd berarti tangan adalah kafir (non
muslim). Alasannya karena manusia memiliki tangan maka Allah tidak memiliki
tangan. Namun pendapat ini akhirnya dihentikan Beliau dan berganti pada
pendapat ulama salaf. Dan ternyata, dalam perkembanganya setelah Abu Hasan al
Asy’ari kelompok Asy’ariyah membuat at ta’wil dan at tanzih. At ta’wil adalah
intepretasi sedang At tanzih adalah meninggikan dan mensucikan Allah swt dari
makhluknya.
2. al
Iman
Asy’ariyah menyatakan iman itu berada dalam hati,
ucapan dan perbuatan adalah kondisi pelengkapnya. Iman tidak akan bertambah dan
tidak akan berkurang. Namun dalam kitab Imam Muhammad Abu Zahrah dikatakan
bahwa kelompok Asy’ariyah mendefinisikan iman adalah perkataan dan perbuatan
yang dapat bertambah dan berkurang. Dari dua perbedaan ini maka menurut penulis
yang shahih adalah pendapat yang kedua. Karena dalam pidatonya al Asy’ari bapak
Madzab Asy’ariyyah menyampaikan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa
berkurang. Wallahua’lam bila dalam perkembanganya ada pengikut al Asy’ari yang
menyimpang dari ajaran beliau.
3. at
Takfir
Dalam masalah at takfir atau menyatakan seseorang
murtad Asy’ariyah berpandangan untuk tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum
muslimin karena suatu dosa yang dikerjakannya, seperti berzina, mencuri, dan
minum-minuman keras. Orang yang bermaksiat masih muslim tetapi ‘āshi yaitu
muslim yang berdosa. Dan seseorang yang melakukan salah satu dosa besar dan
menganggapnya sebagai perbuatan yang halal serta tidak mempercayai
keharamannya, maka barulah ia dikatakan kafir. Demikianlah pandangan kelompok
Asy’ariyah dalam masalah takfir.
4. Qada’
dan Qadar
Kelompok Asy’ariyah mengimani qadha’ dan qadar Allah
swt, yang baik maupun yang buruk. Dalam memandang perbuatan manusia kelompok
Asy’ariyah berpendapat bahwa ada dua wilayah bagi perbuatan manusia, yaitu
perbuatan dalam kontrol manusia dan perbuatan yang diluar kontrol manusia (di
bawah kontrol Allah swt).
5. al
Masādarud Din (Dasar Agama)
Dalam kaitanya dengan dasar atau sumber hukum Agama
yang dijadikan sebagai hujjah maka kelompok Asy’ariyah menjadikan akal (rasio)
sebagai sumber hukum agama dan kemudian al Qur’an dan As Sunnah. Namun Imam Abu
Zahro dalam Ahmad al Qashah menyebutkan bahwa Imam al Asy’ari berkaitan dalam
masalah aqidah menempuh dua jalan, yaitu jalan riwayat (an naql) dan jalan
rasio (al aql). Beliau menetapkan apa yang ada dalam al Quran dan Hadist syarif
berupa sifat-sifat Allah, para rasul, hari akhir, maliakat, siksa dan pahala
baru kemudian mengarah pada dalil rasional dan bukti-bukti logis.
Dalam sumber lain juga disebutkan dalam masalah
aqidah Imam al Asy’ari mempergunakan dalil naqli dan dalil aqli. Beliau
menggunakan dalil rasional dan logika dalam membuktikan kebenaran kandungan al
Qur’an dan Sunnah. Namun tidak menjadikan akal sebagai pemutus terhadap nash
dalam mengintrepetasikannya tetapi berpegang teguh kepada pengertian literalnya
(teksnya). Meskipun demikian beliau menjadikan akal sebagai pembantu untuk
mendukung dzahirnya suatu nash.
Dari sini dapatlah penulis simpulkan bahwa Asy’ari
menjadikan al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber hukum pertama dan tidak
menjadikan akal sebagai perkara yang menghakimi atas berbagai macam teks untuk
ditakwilkan atau dibiarkan apa adanya. Namun, menjadikan akal sebagai instrumen
untuk semakin mengokohkan zhahirnya berbagai macam teks. Namun, perkembangan
berikutnya ada pengikut Asy’ari yang menyimpang dari ajaran beliau.
6. al
Quran
Kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa al Qur’an
tidak dapat didengar dan tidak dapat dibaca, karena al Qur’an itu kalamullah
dalam maknanya dan kata-katanya berasal dari malaikat Jibril a.s. Sedangkan
Imam Abu Zahro menyebutkan bahwa al Asy’ari berpendapat dengan mengambil jalan
tengah yaitu mengatakan bahwa al Qur’an sebagai firman (kalam) Allah swt dan
tidak berubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak dibuta-buat. Adapun
potongan-potongan huruf, warna, bahan dan suaranya adalah makhluk.
7. Sahabat
Sebagian orang dari Asy’ariyah mengizinkan menyerang
sahabat, terutama terhadap Ummul Mukminin Aisyah, Mu’awiyyah, Khalid bin Walid,
Ustman r.a dan menuduh mereka melakukan kesalahan besar serta salah dalam
berijtihad.
8. Khilafah
Dalam masalah Khilafah, Asy’ariyah maupun Ahlu
Sunnah berpendapat bahwa Khilafah adalah hal yang fardhu (wajib) bagi
orang-orang beriman.
9. Tanda-tanda
kerasulan
Asy’ariyah berpendapat bahwa satu-satunya tanda
kerasulan adalah keajaiban al Qur’an. Sedangkan Ahlu Sunnah berpendapat bahwa
ada banyak tanda-tanda kerasulan selain al Qur’an.
Aliran Asy’ariyah setelah kepergian
Imam Asy’ari mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup cepat. Pemahaman
awal yang dibangun Asy’ari bahwa akal sebagai instrumen pengokoh dzahirnya
berbagai macam teks, berubah menjadi lebih condong untuk memberi ruang yang
lebih luas daripada nash-nash itu sendiri. Dari perubahan ini sampai mereka
berani mengatakan bahwa akal fikiran menjadi dasar nash, karena dengan akallah
kita menetapkan adanya Tuhan. Hal inilah yang kemudian menjadikan ahlu sunnah
tidak menerima golongan Asy‘ariyah bahkan memusuhinya dan menggaggapnya sesat.
Sampai datanglah masa perdana
menteri Saljuk di Iran yang bernama Nizhamul Mulk yang mendirikan dua sekolah
terkenal di Bagdad dan Naizabur. Disekolah tersebut hanya paham Asy’ariyah yang
boleh di ajarkan. Asy’ariyah menjadi madzab negara dan golongan Asy’ariyah
menjadi golongan Ahlu Sunnah Wal jama’ah. Maka berkembang pesatlah Asy’ariyah
terutama setelah pengikutnya ada di setiap negeri.
3.2.
Tokoh-Tokoh Madzab Asy’ariyah
a. Abu
Bakar Al Baqillani
Beliau lahir di Bashrah dan meninggal pada tahun 403
H. Al Baqillani pemuda cerdas penganut paham Asy’ariyah. Akan tetapi beliau
mempunyai perbedaan pendapat dengan pemikiran imam Asy’ari dalam memandang
perbuatan manusia. Al Baqillani beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan
semata-mata ciptaan Allah. Menurut beliau manusia mempunyai andil dalam
perwujudan perbuatannya. Sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri
manusia.
b. Al
Juwainy
Nama lengkap beliau adalah Abdul Malik al Juwaini
yang dijuluki imam al Haramain. Beliau salah satu guru di sekolah Nizamiyah. Al
Juwainy mempunyai pendapat yang berseberangan dengan Imam Asy’ari, misal
al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan
(ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai
penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan
seterusnya.
c. Al
Ghazali
Al Ghazali adalah tokoh yang memiliki pengaruh besar
pada umat Islam aliran Asy’ariyah dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Beliau lahir
tahun 450 H dan wafat 505 H. Al Ghazali tokoh yang terkenal sebagai ahli
filsafat, kalam, debat dan juga logika. Sebenarnya, setelah munculnya madzab
Asy’ariyah dikalangan umat muncul pertentangan akan boleh tidaknya ilmu kalam.
Akan tetapi bila kita teliti Al Ghazalilah yang memiliki andil besar dalam
membuka pintu masuknya ilmu kalam pada masyarakat. Hal ini karena al Ghazali
memiliki kedudukan amat terhormat dikalangan masyarakat.
d. As
Sanusy
Karya beliau yang memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan paham Asy’ariyah adalah ’Umdah Ahlit Wat Tasdiq yang artinya
pengangan Ahli Kebenaran maksudnya Ahli Sunnah.
e. Abu
Hasan al Asy’ari Imam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Para ulama dan kaum mujtahid menyebut Abu Hasan al
Asy’ari sebagai imam ahlu sunnah wal jama’ah. Kalangan Asy’ariyah sendiri juga
mengatakan bahwa Madzab Salaf ”Ahlu Sunnah Wal Jamaah” adalah apa yang
dikatakan oleh Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi. Hal ini
dikarenakan pendapat atau keyakinan beliau sesuai dengan apa yang diwariskan
oleh Rasulullah saw atau sesuai sunnah Rasul. Maka pendapat itu dinamakan
Sunnah, artinya Sunnah Rasul. Kemudian orang-orang yang mempunyai pendapat
tersebut dinamakan Golongan Ahlu Sunnah. Kemudian di katakan al Jama’ah, karena
pendapat al Asy’ari diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin atau Jama’ah kaum
muslimin. Dari sinilah kemudian terangkai pernyataan bahwa al Asy’ari adalah
imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Namun meski demikian, tidaklah
semua pendapat Al Asy’ari dibenarkn oleh semua umat Islam. Misalnya, Imam Ibnu
Hazman yang menuduh Asy’ari menagnut faham jabariyah berkenaan dengan pengakuan
Asy’ari tentang tidak adanya ikhtiyar dalam perbuatan manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nama
lengkap Abu Hasan al Asy’ari adalah Abu Hasan al Asy’ari al Yamami. Awalnya al
Asy’ari menganut aqidah Mu’tazilah. Tapi pada akhirnya al Asy’ari memutuskan
untuk keluar dari Mu’tazilah dan mengikuti aqidah yang dianut oleh Imam Ahmad
bin Hambal.
2. Faktor
penyebab keluarnya al Asy’ari adari Muktazilah adalah Al Asy’ari mengalami
kemelut jiwa dan akal. ketidakmampuan al Jubba’i menjawab pertanyaan al Asy’ari
dan pada bulan Ramadhan bermimpi melihat Nabi.
3. Pemikiran
yang ditentang al Asy’ari dari Mu’tazilah: Mu’tazilah bertaqlid buta pada
pemimpinnya yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, menakwilkan ayat-ayat
al Qur’an, mengingkari syafa’at Rasulullah., mengatakan bahwa manusia dapat
menciptakan perbuatannya sendiri, dan orang yang berbuat maksiat masuk neraka
selamanya.
4. Pemikiran
al Asy’ari dalam masalah aqidah mengalami tiga periode.
5. Kejayaan
Mu’tazilah telah rapuh, sehingga kian samar ajarannya ditelinga umat. Dari sini
muncul madzab Abu Hasan al Asy’ari yang dikemudian hari dikenal dengan aliran
Asy’ariyah.
6. Akidah
Asy’ariyah menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani
Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara.
7. Ajaran
Asy’ariyah meliputi banyak hal diantaranya; masalah aqidah, iman, al qur’an, sahabat,
khilafah, dan lain-lain.
8. Setelah
kepergian al Asy’ari madzab Asy’ariyah mengalami beberapa perubahan dari
pendapat al Asy’ari.
9. Gelar
Abu Hasan al Asy’ari yang diberikan mayoritas ulama adalah imam ahlu Sunnah wal
Jama’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim,
Umar, Apakah Anda Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?, Jakarta: Bina Ilmu, 1978
http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-asyariyah.html
Muhammad, Omar Bakri, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Keimanan, Sifat, dan Kualitasnya, Jakarta: Gema Insani, 2005.
al Qashash, Ahmad, Nasyu al Hadharah al Islamiyah, ter. Ustman Zahid as Sidany, Peradaban Islam VS Peradaban Asing, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009.
Wa’ie, Ikhwanul, Luruskah Aqidah Anda, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-asyariyah.html
Muhammad, Omar Bakri, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Keimanan, Sifat, dan Kualitasnya, Jakarta: Gema Insani, 2005.
al Qashash, Ahmad, Nasyu al Hadharah al Islamiyah, ter. Ustman Zahid as Sidany, Peradaban Islam VS Peradaban Asing, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009.
Wa’ie, Ikhwanul, Luruskah Aqidah Anda, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar