Rabu, 10 Desember 2014

Abu Hasab Al As'ary

BAB I
PENDAHULUAN
           
A.    LATAR BELAKANG
Pada masa masa seperti sekarang ini kita perlu mengetahui, mempelajari, serta mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah para ulama’ yang diantanya adalah Abu Hasan Al Asy’ari.
Abu Hasan Al Asy’ari telah banyak menghasilkan karya. Kurang lebih berjumlah 90 kitab dalam berbagai ilmu. Kitab-kitabnya yang terkenal antara lain Maqalatuul Islamiyyin (Pendapat-pendapat Golongan Islam) yang berisi aliran-aliran kepercayaan dalam Islam dan kitab ini menjadi kitab pertama yang membahas masalah tersebut.
Atas dasar itulah  penulis ingin membahas sedikit kisah Abu Hasan Al Asy’ari, dengan harapan bisa memberikan motivasi dan suri tauladan pada kita semua.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.    Bagaimana biografi Abu Hasan al-Asy’ari?
2.    Bagaimana Pemikiran Abu Hasan al Asy’ari Dalam Masalah Aqidah ?
3.    Apa saja Ajaran-Ajaran Asy’ariyah ?

C.    TUJUAN PEMBAHASAN

1.    Untuk mengetahui biografi Abu Hasan al-Asy’ari.
2.    Untuk Mengetahui Pemikiran Abu Hasan al Asy’ari Dalam Masalah Aqidah.
3.    Untuk Mengetahui Ajaran-Ajaran Asy’ariyah.








BAB II
PEMBAHASAN

1.1. Biografi Abu Hasan al-Asy’ari

A.    Biografi Abu Hasan al Asy’ari
Nama lengkap Abu Hasan al Asy’ari adalah Abu Hasan al Asy’ari al Yamami. Beliau dikenal dengan sebutan al Asy’ari. Tempat lahir al Asy’ari adalah di kota Basrah pada tahun 260 H atau 873 M dan wafat pada tahun 324 H atau 935 M di kota Bagdad. Imam al Asy’ari memanfaatkan waktunya di Basrah untuk mempelajari berbagai ilmu. Kemudian penggembaraannya dilanjutkan ke Bagdad. Di kota Bagdad inilah al Asy’ari belajar ilmu kalam menurut pemahaman Mu’tazilah yang kurang lebih selama 40 tahun.
Setelah ayah al Asy’ari meninggal, ibu al Asy’ari menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal inilah yang menjadikan otak Beliau terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah. Oleh karena itulah al Asy’ari menjadi pendukung dan penganut Mu’tazilah tangguh. Adapun guru al Asy’ari adalah al Athowi’ dan Abu Ali al Jubba’i asy Syakhkhan yang tidak lain adalah Ayah tiri al Asy’ari.
Al Asy’ari telah banyak menghasilkan karya. Kurang lebih berjumlah 90 kitab dalam berbagai ilmu. Kitab-kitabnya yang terkenal antara lain Maqalatuul Islamiyyin (Pendapat-pendapat Golongan Islam) yang berisi aliran-aliran kepercayaan dalam Islam dan kitab ini menjadi kitab pertama yang membahas masalah tersebut. Kitab yang lainnya adalah Al Ibanah ’an Ashulil Addiniyyah (Keterangan Tentang Dasar-dasar Agama) berisi tentang kepercayaan Ahlu Sunnah dengan memuliakan dan memuji Imam Ahmad bin Hambal. Kitab lainnya adalah Aluma (Sorotan) berisi bantahan-bantahan terhadap lawannya mengenai masalah ilmu kalam.
Al Asy’ari juga juga terkategori ulama ahli hadist., akan tetapi beliau tidak memfokuskan pada bidang ini. Beliau lebih fokus pada masalah aqidah. Awalnya al Asy’ari menganut aqidah Mu’tazilah. Tapi pada akhirnya al Asy’ari memutuskan untuk keluar dari Mu’tazilah dan mengikuti aqidah yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal yaitu Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Faktor-Faktor Penyebab Keluarnya Al Asy’ari Dari Mu’tazilah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, diantaranya:
1. Al Asy’ari mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah.
2. Al Asy’ari melakukan diskusi dengan gurunya al Jubba’i dan berakhir dengan ketidakmampuan al Jubba’i menjawab pertanyaan beliau. Ditambah dengan kekejaman kaum penguasa yang bekerjasama dengan kelompok Mu’tazilah.
3. Al Asy’ari pada bulan Ramadhan bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan.

Al Asy’ari mengumumkan taubat dan keluar dari Mu’tazilah pada tahun 300 H. Setelah menyatakan memisahkan diri dari Mu’tazilah, al Asy’ari memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Al Asy’ari menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

2.1. Pemikiran Abu Hasan al Asy’ari Dalam Masalah Aqidah

Pemikiran al Asy’ari berkaitan masalah aqidah selama masa hidupnya dapat dibedakan menjadi tiga periode. Sesuai dengan perjalanan dan ijtihadnya dalam masalah aqidah ini. Adapun periode-periode tersebut adalah:

1.    Periode pertama
Pada periode ini al Asy’ari sebagai penganut kuat aqidah Mu’tazilah. Pengaruh gurunya sekaligus ayah tirinya ini menjadikan al Asy’ari hidup dalam keyakinan Mu’tazilah selama kurang lebih 40 tahun. Periode ini menjadikan al Asy’ari mengetahui seluk beluk Mu’tazilah sampai kelebihan dan kelemahannya.
2.    Periode kedua
Pada periode ini al Asy’ari berbalik arah dari penganut Mu’tazilah menjadi berseberangan dengan Mu’tazilah. Di antara pemikiran beliau pada periode ini adalah menetapkan 7 sifat Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
3.    Periode ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif. Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•  takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•  ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•  tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
• tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitab "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus .
Inilah perjalan pencarian aqidah yang shahih Imam Abu Hasan al Asy’ari. Dari perjalanan inilah menumbuhkan kekaguman umat atas beliau. Pemikiran-pemikiran beliau tertuang dalam kitab-kitab beliau dan dibangun dari pendapat para shahabat dengan penerimaan atas berbagai sifat Allah apa adanya, tanpa penakwilan macam-macam. Pemikiran al Asy’ari telah menyelamatkan aqidah umat dari kerusakan pemikiran yang dilahirkan oleh Mu’tazilah.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah adalah masa-masa dimana ilmu kalam mengalami perkembangan yang cukup cepat. Hal ini salah satunya disebabkan karena masukkanya pemikiran-pemikiran filsafat ke dalam benak umat Islam dan banyaknya kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan oleh ulama-ulama Islam. Sehingga dari penerjemahan ini muncullah para ulama kalam yang sesunggunya keberadaan mereka adalah dalam rangka melindungi aqidah umat Islam dari pemahaman-pemahaman filsafat.
Keberadaan ilmu kalam sendiri menjadi pertentangan dikalangan ulama. Sebagian besar ulama salaf mengharamkan ilmu kalam, seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, serta seluruh ahli hadist dan kalangan ulama salaf. Menanggapi masalah kalam ini Imam Ahmad bin Hambal berkata: ” Ahli ilmu kalam tidak akan beruntung untuk selamanya. Engkau hampir tidak akan melihat seseorang yang mempelajari ilmu kalam selain dalam lubuk hatinya terdapat banyak keraguan”.
Imam Muhammad Abu Zahrah dalam Ahmad al Qashah berkata ” Pada akhir masa Umawi, pemikiran bangsa Arab didatangi oleh filsafat Yunani lewat bangsa Persia. Dan sebagian Mawali (Orang-orang yang masuk Islam dari bangsa non Arab) yang telah masuk Islam sangat ahli dalam filsafat Yunani. Dan pada masa inilah filsafat tersebar luas dikalangan kaum Muslim disebabkan percampuran mereka dengan bangsa Persia, Yunani dan Romawi. Dengan masuknya berbagai macam filsafat ini memunculkan kajian filsafat seputar aqidah. Melalui proses inilah muncul aliran-aliran dalam masalah aqidah.
Diantara aliran-aliran itu adalah Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyyah. Eksistensi Mu’tazilah pada abad ke 3 dan 4 H melemah. Masa kejayaan Mu’tazilah telah rapuh, sehingga kian samar ajarannya ditelinga umat. Namun ilmu kalam, sebagai sebuah disiplin ilmu yang rajin membantah para ahli bid’ah dan penyimpangan lainnya tetap eksis. Dari sini muncul madzab Abu Hasan al Asy’ari yang dikemudian hari dikenal dengan aliran Asy’ariyah. Madzab ini seolah menjadi sumber mata air ditengah dahaganya umat atas kebingungan mereka diantara madzab-madzab aqidah yang ada.
Abu Hasan al Asy’ari membangun dan mengadopsi pendapat-pendapatnya sesuai dengan pendapat fuqaha dan muhaddistin. Abu Hasan al Asy’ari mendapat banyak dukungan dari kalangan rakyat juga penguasa. Dia menyebarkan pengikutnya ke berbagai daerah dan al Asy’ari mendapat gelar Imam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dari mayoritas ulama pada masa itu.

3.1.  Ajaran-Ajaran Asy’ariyah

Adapun ajaran Asy’ariyah dalam perkembanganya meliputi banyak hal. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Tauhid
Abu Hasan al Asy’ari pada periode pertama dalam masalah aqidah membuat takwil dan berkata bahwa al yadd berarti “kekuatan” dan barangsiapa yang mengatakan bahwa al yadd berarti tangan adalah kafir (non muslim). Alasannya karena manusia memiliki tangan maka Allah tidak memiliki tangan. Namun pendapat ini akhirnya dihentikan Beliau dan berganti pada pendapat ulama salaf. Dan ternyata, dalam perkembanganya setelah Abu Hasan al Asy’ari kelompok Asy’ariyah membuat at ta’wil dan at tanzih. At ta’wil adalah intepretasi sedang At tanzih adalah meninggikan dan mensucikan Allah swt dari makhluknya.
2.      al Iman
Asy’ariyah menyatakan iman itu berada dalam hati, ucapan dan perbuatan adalah kondisi pelengkapnya. Iman tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang. Namun dalam kitab Imam Muhammad Abu Zahrah dikatakan bahwa kelompok Asy’ariyah mendefinisikan iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat bertambah dan berkurang. Dari dua perbedaan ini maka menurut penulis yang shahih adalah pendapat yang kedua. Karena dalam pidatonya al Asy’ari bapak Madzab Asy’ariyyah menyampaikan bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Wallahua’lam bila dalam perkembanganya ada pengikut al Asy’ari yang menyimpang dari ajaran beliau.
3.      at Takfir
Dalam masalah at takfir atau menyatakan seseorang murtad Asy’ariyah berpandangan untuk tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin karena suatu dosa yang dikerjakannya, seperti berzina, mencuri, dan minum-minuman keras. Orang yang bermaksiat masih muslim tetapi ‘āshi yaitu muslim yang berdosa. Dan seseorang yang melakukan salah satu dosa besar dan menganggapnya sebagai perbuatan yang halal serta tidak mempercayai keharamannya, maka barulah ia dikatakan kafir. Demikianlah pandangan kelompok Asy’ariyah dalam masalah takfir.
4.      Qada’ dan Qadar
Kelompok Asy’ariyah mengimani qadha’ dan qadar Allah swt, yang baik maupun yang buruk. Dalam memandang perbuatan manusia kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa ada dua wilayah bagi perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam kontrol manusia dan perbuatan yang diluar kontrol manusia (di bawah kontrol Allah swt).
5.      al Masādarud Din (Dasar Agama)
Dalam kaitanya dengan dasar atau sumber hukum Agama yang dijadikan sebagai hujjah maka kelompok Asy’ariyah menjadikan akal (rasio) sebagai sumber hukum agama dan kemudian al Qur’an dan As Sunnah. Namun Imam Abu Zahro dalam Ahmad al Qashah menyebutkan bahwa Imam al Asy’ari berkaitan dalam masalah aqidah menempuh dua jalan, yaitu jalan riwayat (an naql) dan jalan rasio (al aql). Beliau menetapkan apa yang ada dalam al Quran dan Hadist syarif berupa sifat-sifat Allah, para rasul, hari akhir, maliakat, siksa dan pahala baru kemudian mengarah pada dalil rasional dan bukti-bukti logis.
Dalam sumber lain juga disebutkan dalam masalah aqidah Imam al Asy’ari mempergunakan dalil naqli dan dalil aqli. Beliau menggunakan dalil rasional dan logika dalam membuktikan kebenaran kandungan al Qur’an dan Sunnah. Namun tidak menjadikan akal sebagai pemutus terhadap nash dalam mengintrepetasikannya tetapi berpegang teguh kepada pengertian literalnya (teksnya). Meskipun demikian beliau menjadikan akal sebagai pembantu untuk mendukung dzahirnya suatu nash.
Dari sini dapatlah penulis simpulkan bahwa Asy’ari menjadikan al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber hukum pertama dan tidak menjadikan akal sebagai perkara yang menghakimi atas berbagai macam teks untuk ditakwilkan atau dibiarkan apa adanya. Namun, menjadikan akal sebagai instrumen untuk semakin mengokohkan zhahirnya berbagai macam teks. Namun, perkembangan berikutnya ada pengikut Asy’ari yang menyimpang dari ajaran beliau.
6.      al Quran
Kelompok Asy’ariyah berpendapat bahwa al Qur’an tidak dapat didengar dan tidak dapat dibaca, karena al Qur’an itu kalamullah dalam maknanya dan kata-katanya berasal dari malaikat Jibril a.s. Sedangkan Imam Abu Zahro menyebutkan bahwa al Asy’ari berpendapat dengan mengambil jalan tengah yaitu mengatakan bahwa al Qur’an sebagai firman (kalam) Allah swt dan tidak berubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak dibuta-buat. Adapun potongan-potongan huruf, warna, bahan dan suaranya adalah makhluk.
7.      Sahabat
Sebagian orang dari Asy’ariyah mengizinkan menyerang sahabat, terutama terhadap Ummul Mukminin Aisyah, Mu’awiyyah, Khalid bin Walid, Ustman r.a dan menuduh mereka melakukan kesalahan besar serta salah dalam berijtihad.
8.      Khilafah
Dalam masalah Khilafah, Asy’ariyah maupun Ahlu Sunnah berpendapat bahwa Khilafah adalah hal yang fardhu (wajib) bagi orang-orang beriman.
9.      Tanda-tanda kerasulan
Asy’ariyah berpendapat bahwa satu-satunya tanda kerasulan adalah keajaiban al Qur’an. Sedangkan Ahlu Sunnah berpendapat bahwa ada banyak tanda-tanda kerasulan selain al Qur’an.

Aliran Asy’ariyah setelah kepergian Imam Asy’ari mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup cepat. Pemahaman awal yang dibangun Asy’ari bahwa akal sebagai instrumen pengokoh dzahirnya berbagai macam teks, berubah menjadi lebih condong untuk memberi ruang yang lebih luas daripada nash-nash itu sendiri. Dari perubahan ini sampai mereka berani mengatakan bahwa akal fikiran menjadi dasar nash, karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan. Hal inilah yang kemudian menjadikan ahlu sunnah tidak menerima golongan Asy‘ariyah bahkan memusuhinya dan menggaggapnya sesat.
Sampai datanglah masa perdana menteri Saljuk di Iran yang bernama Nizhamul Mulk yang mendirikan dua sekolah terkenal di Bagdad dan Naizabur. Disekolah tersebut hanya paham Asy’ariyah yang boleh di ajarkan. Asy’ariyah menjadi madzab negara dan golongan Asy’ariyah menjadi golongan Ahlu Sunnah Wal jama’ah. Maka berkembang pesatlah Asy’ariyah terutama setelah pengikutnya ada di setiap negeri.




3.2. Tokoh-Tokoh Madzab Asy’ariyah
a.    Abu Bakar Al Baqillani
Beliau lahir di Bashrah dan meninggal pada tahun 403 H. Al Baqillani pemuda cerdas penganut paham Asy’ariyah. Akan tetapi beliau mempunyai perbedaan pendapat dengan pemikiran imam Asy’ari dalam memandang perbuatan manusia. Al Baqillani beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah. Menurut beliau manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatannya. Sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
b.    Al Juwainy
Nama lengkap beliau adalah Abdul Malik al Juwaini yang dijuluki imam al Haramain. Beliau salah satu guru di sekolah Nizamiyah. Al Juwainy mempunyai pendapat yang berseberangan dengan Imam Asy’ari, misal al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya.
c.    Al Ghazali
Al Ghazali adalah tokoh yang memiliki pengaruh besar pada umat Islam aliran Asy’ariyah dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Beliau lahir tahun 450 H dan wafat 505 H. Al Ghazali tokoh yang terkenal sebagai ahli filsafat, kalam, debat dan juga logika. Sebenarnya, setelah munculnya madzab Asy’ariyah dikalangan umat muncul pertentangan akan boleh tidaknya ilmu kalam. Akan tetapi bila kita teliti Al Ghazalilah yang memiliki andil besar dalam membuka pintu masuknya ilmu kalam pada masyarakat. Hal ini karena al Ghazali memiliki kedudukan amat terhormat dikalangan masyarakat.
d.   As Sanusy
Karya beliau yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan paham Asy’ariyah adalah ’Umdah Ahlit Wat Tasdiq yang artinya pengangan Ahli Kebenaran maksudnya Ahli Sunnah.
e.    Abu Hasan al Asy’ari Imam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Para ulama dan kaum mujtahid menyebut Abu Hasan al Asy’ari sebagai imam ahlu sunnah wal jama’ah. Kalangan Asy’ariyah sendiri juga mengatakan bahwa Madzab Salaf ”Ahlu Sunnah Wal Jamaah” adalah apa yang dikatakan oleh Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi. Hal ini dikarenakan pendapat atau keyakinan beliau sesuai dengan apa yang diwariskan oleh Rasulullah saw atau sesuai sunnah Rasul. Maka pendapat itu dinamakan Sunnah, artinya Sunnah Rasul. Kemudian orang-orang yang mempunyai pendapat tersebut dinamakan Golongan Ahlu Sunnah. Kemudian di katakan al Jama’ah, karena pendapat al Asy’ari diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin atau Jama’ah kaum muslimin. Dari sinilah kemudian terangkai pernyataan bahwa al Asy’ari adalah imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Namun meski demikian, tidaklah semua pendapat Al Asy’ari dibenarkn oleh semua umat Islam. Misalnya, Imam Ibnu Hazman yang menuduh Asy’ari menagnut faham jabariyah berkenaan dengan pengakuan Asy’ari tentang tidak adanya ikhtiyar dalam perbuatan manusia.























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

1.      Nama lengkap Abu Hasan al Asy’ari adalah Abu Hasan al Asy’ari al Yamami. Awalnya al Asy’ari menganut aqidah Mu’tazilah. Tapi pada akhirnya al Asy’ari memutuskan untuk keluar dari Mu’tazilah dan mengikuti aqidah yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal.
2.      Faktor penyebab keluarnya al Asy’ari adari Muktazilah adalah Al Asy’ari mengalami kemelut jiwa dan akal. ketidakmampuan al Jubba’i menjawab pertanyaan al Asy’ari dan pada bulan Ramadhan bermimpi melihat Nabi.
3.      Pemikiran yang ditentang al Asy’ari dari Mu’tazilah: Mu’tazilah bertaqlid buta pada pemimpinnya yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, menakwilkan ayat-ayat al Qur’an, mengingkari syafa’at Rasulullah., mengatakan bahwa manusia dapat menciptakan perbuatannya sendiri, dan orang yang berbuat maksiat masuk neraka selamanya.
4.      Pemikiran al Asy’ari dalam masalah aqidah mengalami tiga periode.
5.      Kejayaan Mu’tazilah telah rapuh, sehingga kian samar ajarannya ditelinga umat. Dari sini muncul madzab Abu Hasan al Asy’ari yang dikemudian hari dikenal dengan aliran Asy’ariyah.
6.      Akidah Asy’ariyah menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara.
7.      Ajaran Asy’ariyah meliputi banyak hal diantaranya; masalah aqidah, iman, al qur’an, sahabat, khilafah, dan lain-lain.
8.      Setelah kepergian al Asy’ari madzab Asy’ariyah mengalami beberapa perubahan dari pendapat al Asy’ari.
9.      Gelar Abu Hasan al Asy’ari yang diberikan mayoritas ulama adalah imam ahlu Sunnah wal Jama’ah.





DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Umar, Apakah Anda Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?, Jakarta: Bina Ilmu, 1978
http://kalamstai.blogspot.com/2009/03/aliran-asyariyah.html
Muhammad, Omar Bakri, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Keimanan, Sifat, dan Kualitasnya, Jakarta: Gema Insani, 2005.
al Qashash, Ahmad, Nasyu al Hadharah al Islamiyah, ter. Ustman Zahid as Sidany, Peradaban Islam VS Peradaban Asing, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009.
Wa’ie, Ikhwanul, Luruskah Aqidah Anda, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar