BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia para founding fatherstelah menjatuhkan
pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara.
Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi
bagian dalam praktek pemerintahan Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus
memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD 1945 yang
dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Sebagai perwujudan dari cita
desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh
pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan
cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikian, kenyataan membuktikan bahwa
cita tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai
harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan.
Kita nampaknya baru menuju kea rah Otonomi Daerah yang sebenarnya.
Beberapa faktor-faktor yang
menetukan prospek otonomi daerah, diantaranya, yaitu :
Faktor Pertama adalah faktor manusia
sebagai subyek penggerak (faktor dinamis) dalam peenyelenggaraan otonomi
daerah.
Faktor kedua adalah faktor keuangan yang
merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan
Daerah.
Faktor ketiga adalah faktor peralatan
yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan
daerah
Faktor keempat adalah faktor organisasi
dan manajemen.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini di buat
dengan rumusan masalah:
1. Apa itu Otonomi
Daerah?
2. Bagaimana Sejarah
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
3. Apa dasar hukum dan Landasan
teori Otonomi Daerah?
4. Apa salah satu yang
paling berperan di dalam Otonomi Daerah?
5. Apa dampak yang di
timbulkan oleh Otonomi Daerah?
1.3 Tujuan Penulisan
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan daerah tingkat
I maupun Tingkat II mampu mengelola daerah nya sendiri. Untuk kepentingan
rakyat dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara sosial ekonomi yang
merata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari 2 kata yaitu, auto berarti
sendiri,nomosberarti rumah tangga atau urusan pemerintahan.Otonomi
dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri.Dengan mendampingkan kata
ekonomi dengan kata daerah,maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri”
mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau
menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang
berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh Pemerintahan Daerah. Pengertian
yang memliki kaitan dan hubungan dengan otonomi daerah yang terdapat di dalam
Undang-Undang,yaitu sebagai berikut:
- Pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan
urusan di dalam suatu daerah.
- Penyelenggaran urusan
pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya dalam
prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945.
- Pemerintah Daerah itu
meliputi Bupati atau Walikota, perangkat daerah seperti Lurah,Camat serta
Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
- DPRD adalah lembaga
pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para wakil rakyat yang menjadi
penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
- Otonomi daerah adalah
wewenang,hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur
sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang
berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Daerah otonom adalah
suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayah dan wewenang
dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri
namum sesuai dengan sistem NKRI.
- Di dalam otonomi
daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia
sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2.2
Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
a) Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan
staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang
mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad
No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan
sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan
locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh
pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun
kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga
masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
b) Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke
seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan
Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma
dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda.
Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil
melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda.
Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No.
27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa
Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah
otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
c) Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada
asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di
keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu
oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing
dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang
bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari
6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun
1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang
otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan
mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah
Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah
tangganya sendiri.
3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti
dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta
Raya
2) Daerah swatantra tingkat II
3) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan
otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun
1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7
November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan
daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II,
dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi
daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat,
terutama dari kalangan pamong praja.
5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun
1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga
tingkatan yakni:
1) Provinsi (tingkat I)
2) Kabupaten (tingkat II)
3) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas
memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh
pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani
peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam
dan di luar pengadilan.
6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan
mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua
tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara
dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah
tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat
sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam
UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam
penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa
kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai
perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum
memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004
tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan
bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas
hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah
pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah
pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan
di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di
pertegas dan di perjelas.
2.3
Dasar Hukum Dan Landasan Teori Otonomi Daerah
1. Dasar Hukum
Tidak hanya pengertian tentang otonomi daerah saja
yang perlu kita bahas.Namun ada dasar-dasar yang bisa menjadi landasan.Ada
beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai
berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
3) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan
negara.
Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang otonomi daerah,saya juga
menulis apa saja yang menjadi tujuan pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi
daerah harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang
berada di wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan pula sumber daya yang di
miliki oleh daerah agar dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.
2. Landasan Teori
Berikut ini ada
beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah .
a. Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah yang saya tuliskan di
sini.Asas-asas tersebut sebagai berikut:
· Asas tertib penyelenggara negara
· Asas Kepentingan umum
· Asas Kepastian Hukum
· Asas keterbukaan
· Asas Profesionalitas
· Asas efisiensi
· Asas proporsionalitas
· Asas efektifitas
· Asas akuntabilitas
b. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah
tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka
muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya
adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan
sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan
Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem
pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan
pardigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai
pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia
dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang
melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan
untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan
pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan
relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal,
sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat
daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan
perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan
dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan
efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
c. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk
penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang.
Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan
sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di
bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara
terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini,
pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa
desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah.
Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana
sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini
mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana
sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di
Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi
tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
2.4
Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan
membahas sedikit mengenai APBD.
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas
dari kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator
penting dalam menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor
keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena
pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan
efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan
keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara
nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan
pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat
mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi
bagian yang terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah
daerah. Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam
pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi
otonomi daerah.
Mardiasmo mendefinisikan anggaran
sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode
waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial,sedangkan penganggaran
adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo
mendefinisikan nya sebagai berikut ,anggaran publik merupakan suatu dokumen
yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi
informasi mengenai pendapatan belanja dan aktifitasSecara singkat dapat
dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang
menyatakan
1) Berapa biaya atas rencana yang di buat(pengeluaran/belanja),dan
2) Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana
tersebut(pendapatan)
Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003
tentang keuangan Negara disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan
pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih
lanjut dijelaskan dalam PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan
Daerah disebutkan bahwa APBD adlah rencana keuangan tahunan Pemerintah daerah
yang di bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan
ditetapkan dengan peraturan daerah.
ekonomi. Inisiatif peningkatan
perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan
dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan
efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
2.5
Dampak Otonomi Daerah
a. Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah
makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas
lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah
pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah
yang berada di daerahnya sendiri.
b. Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum
di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan
rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Beberapa modus pejabat nakal
dalam melakukan korupsi dengan APBD :
1) Korupsi Pengadaan
Barang Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2) Penghapusan barang
inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
- Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
- Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3) Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan
pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4) Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti
asuhan dan jompo)
Modus :
- Pemotongan dana bantuan sosial b.
Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5) Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari
pemerintah ke pihak luar.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan
adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun
program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan
berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang
menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta
memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari.
Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang
menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai
bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan
terjadi.
3.2
Saran
Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol
Otonomi Daerah:
1. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi
aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi dan sejalan dengan strategi
desentralisasi secara bertahap.
2. Menyusun sebuah rencana implementasi
desentralisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut penjaminan
kesinambungan pelayanan pada masyarakat,perlakuan perimbangan antara
daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
3. Untuk mempertahankan momentum
desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan segera langkah
desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang jelas merupakan
kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
4. Proses otonomi tidak dapat dilihat
sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari menteri negara otonomi atau
menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh
bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).
Upaya Yang Menurut Saya harus Dilakukan Pejabat Daerah Untuk
Mengatasi Ketimpangan Yang Terjadi :
1. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan
tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah.
2. Pejabat harus melakukan pemberdayaan
politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan
organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
3. Pejabat daerah harus bisa bertanggung
jawab dan jujur.
4. Adanya kerjasama antara pejabat dan
masyarakat.
5. Dan yang paling
penting pejabat harus tahu prinsip-prinsip otonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi
Daerah di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
DR. Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk
otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan
Global, Jakarta, Rhineka Cipta.
http://susisitisapaah.blogspot.com/2011/03/sejarah-perkembangan-otonomi-daerah-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar