BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah Negara yang terkenal
memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia, semua itu tidak lepas dari peran
ulama’-ulama’ terdahulu yang giat menyebarkan agama islam, diantara
ulama’-ulama’ tersebut ada satu sosok ulama’ yang luar biasa, yaitu syech imam
nawawi al bantani, beliau adalah ulama’ yang sangat terkenal, tidak hanya di
Indonesia tapi juga di makkah,beliau adalah ulama’ yang ahli di bidang tafsir,
tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika, karya-karya beliau
memberikan sumbangan yang sangat besar dalam kemajuan islam di Indonesia,
banyak sekali ulama’ dan pejuang-pejuang
islam yang berguru pada beliau, karena itulah jasa beliau sangat besar dalam
mengislamkan Indonesia.
Untuk itu pada masa masa seperti
sekarang ini kita perlu mengetahui, mempelajari, serta mengambil hikmah dan
pelajaran dari kisah dan pemikiran imam nawawi al bantani.
Atas dasar itulah penulis ingin membahas sedikit kisah dan
pemikiran imam
nawawi al bantani, dengan harapan bisa memberikan motivasi dan suri
tauladan pada kita semua untuk meniru sifat sifat mulia pada diri khalifah
harun arrasyid.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi dan kisah imam nawawi al
bantani?
2. Apa saja karya-karya imam nawawi al
bantani?
3. Sifat sifat apa saja kah yang bisa kita contoh dan kita teladani dari imam nawawi al bantani?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
· Untuk
mengetahui biografi
dan kisah imam nawawi al bantani.
· Untuk mengetahui karya-karya imam nawawi
al bantani.
· Untuk dapat
mengambil suri tauladan dari imam nawawi al bantani agar dapat diaktualisasikan pada zaman sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.Biografi
dan Kisah Imam Nawawi Al Bantani.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi adalah ulama’ yang sangat
kesohor. Disebut al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia. Beliau
bukan ulama biasa, tapi memiliki intelektual yang sangat produktif menulis
kitab, meliputi fiqih, tauhid, tasawwuf, tafsir, dan hadis. Jumlahnya tidak
kurang dari 115 kitab.
Lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin
‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat
kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa
Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun
1230 H atau 1813 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan
Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-11 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui
jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana
Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya berjarak 500 meter
dari bekas kediaman beliau di Tanara, nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi.
Ayah beliau seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas. Otaknya
dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5
tahun. Pertanyaanpertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat
potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah
mengirimkannya keberbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat
bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten;
setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.[1]
Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh
Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena karamahnya yang
telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih
leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Pada usia 15
tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di
Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni,
‘Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati,
Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid
Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad
Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di
Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga
ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh
Muhammad Khâtib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Medinah.
Tiga
tahun lamanya Nawawi menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah itu, ia pun
kembali ke Indonesia. Lalu, ia mengajar di pesantren ayahnya. Namun di tanah
air, ia tidak dapat mengembangkan ilmunya karena saat itu negara Indonesia
memang sedang dijajah Belanda. Akhirnya, Nawawi kembali ke Mekkah dan tinggal
di daerah Syi’ab ‘Ali.
Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897
M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M.
Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan
makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma? binti Abû Bakar
al-Siddîq.
1.2.Karya-karyaImam Nawawi.
Syekh Nawawi juga giat menulis buku. Ia termasuk penulis
yang banyak melahirkan karya. Ia banyak menulis kitab tentang persoalan agama.
Paling tidak, 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic
Printed Books karya Yusuf. Beberapa kalangan bahkan menyebutkan bahwa
Nawawi telah menulis lebih dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu.
Sebagian karya Syekh Nawawi diterbitkan di Timur Tengah. Dengan karya-karyanya
ini, ia ditempatkan sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga kini.
Selanjutnya, kitab-kitabnya itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama
di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Malaysia, Filipina, Thailand, dan
juga di Timur Tengah.
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran
pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh
kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi,
bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali
bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang
ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang
penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan
Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi
pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya
sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath
ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar
al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam
bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan
Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak
memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa
Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act),
karena sifat Allah adalah perbuatannya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga
bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti
melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang
pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah
sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang
pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia
Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem
teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus
digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara
keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala
hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat
diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan
kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya
dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang
Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary
lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di
tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah,
sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui
Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah
yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada
Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan
apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil
membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan
berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di
Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding
teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan
kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda
seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat
melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks
Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat
menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.
Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak
ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan
kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi
Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul
dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa
bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan
seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena
memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh
Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia.
Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam
at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul
Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara
sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk
mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya
yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan
tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas
al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu
forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH.
Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di
Mesir.
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas
intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu
agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok.
Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki
tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi
seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya
Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah
al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana
Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini
merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya
Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah
organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia
memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan
hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi
mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat
merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di
laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal
dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari
syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak
menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan
hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan
pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang
digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf
inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya.
la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia,
seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Nawawi pun dijuluki Imam Nawawi kedua. Nawawi pertama adalah
yang menulis Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syahrul Muhadzdzab, Riyadhush
Shalihin, dan lain-lain. Ia tetap dipanggil Syekh Nawawi (al-Bantani) bukan
Imam Nawawi (ad-Dimasyqi).
Nama Syekh Nawawi pun termasuk salah satu ulama besar abad
ke-14 H/19 M. Tentu ini berkat karya Nawawi yang tersebar luas dan ditulis
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Berkat kemasyhurannya pula, ia
mendapat gelar A’yan ‘Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li al-Hijrah, al-Imam
al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Karya Nawawi pun banyak masuk di Indonesia. Hal ini tentu
berdampak pada perkembangan wacana keislaman di pesantren. Sejak 1888,
kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Jika sebelumnya tidak
ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh, dan hadits, sejak saat
itu bidang keilmuan tersebut mulai dikaji. Perubahan ini juga tidak terlepas
dari jasa tiga ulama Indonesia, yaitu Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, dan
Kiai Mahfuz Termas.
Karya-karya Nawawi memang sangat berpengaruh bagi pendidikan
pesantren. Sampai tahun 1990, diperkirakan terdapat 22 judul tulisan Nawawi
yang masih dipergunakan di pesantren. Selain itu, 11 karya populer sering
digunakan sebagai kajian di pesantren-pesantren.
Penyebaran karya Nawawi di sejumlah pesantren yang tersebar
di seluruh wilayah Nusantara pun makin memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Perlu diketahui, penyebaran karya Nawawi tersebut tidak terlepas dari jasa K.H.
Hasyim Asy’ari, salah seorang murid Nawawi yang berasal dari Jombang. K.H.
Hasyim Asy’ari-lah yang memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di
pesantren-pesantren di Jawa.
Karya-karya
imam nawawi antara lain:
- al-Tsamâr
al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
- al-‘Aqd
al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
- Sullam
al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
- Baĥjah
al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa
al-Tasawwuf
- al-Tausyîh/
Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
- Niĥâyah
al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
- Marâqi
al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
- Nashâih
al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
- Salâlim al-Fadhlâ΄
syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
- Qâmi’u
al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
- al-Tafsir
al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil
musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
- Kasyf
al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
- Fath
al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib
al-Jaliyyah
- Nur
al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
- Tanqîh
al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
- Madârij
al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
- Targhîb
al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
- Fath
al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
- Fath
al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
- Tîjân
al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
- Fath
al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
- Murâqah
Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
- Kâsyifah
al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
- al-Futûhâh
al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
- ‘Uqûd
al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
- Qathr
al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
- Naqâwah
al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
- al-Naĥjah
al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
- Sulûk
al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
- Hilyah
al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
- al-Fushûsh
al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
- al-Riyâdl
al-Fauliyyah
- Mishbâh
al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
- Dzariyy’ah
al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
- al-Ibrîz
al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
- Baghyah
al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
- al-Durrur
al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
- Lubâb
al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.[4]
Karya
tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik
dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn
al-Mahâlli yang sangat terkenal itu. Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah
merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya
Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih
praktis ketimbang matan yang dikomentarinya. Karya-karya beliau di bidang Ilmu
Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam
bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih
yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u
al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf.
Ada lagi sebuah kitab fiqih karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para
santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq
al-Zaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket
bacaan wajib, terutama di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan
keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan
secara rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir
seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat,
terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah
tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar
bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi
kualitas kepakaran dan intelektual beliau.
Berkat
kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan
oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan
Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm
al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh
Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid
al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah
Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara
para Ulama Indonesia menggelarinya
sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Selain
mempunyai gelar dan karya-karya yang luar biasa, imam nawawi juga mempunyai
banyak murid yang menjadi ulama’ terkenal di Indonesia, di antaranya:
1)
KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak
bersama
2)
KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
3)
KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
4)
KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.
5)
KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh
Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam.
6)
KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di
Banten).
7)
KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan
mantunya (cucu).
8)
KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di
Banten).
9)
KH Ilyas, Kragilan, Serang.
10) KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang.
11) KH Tubagus Bakri, Sempur,
Purwakarta.
12) KH Mas Muhammad Arsyad Thawil,
Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena
peristiwa Geger Cilegon.
Mata
pelajaran yang diajarkan Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam, Tasawuf/Akhlak,
Tafsir, dan Bahasa Arab.
1.3.sifat-sifat
mulia imam nawawi
Banyak
sifat-sifat imam nawawi yang bias contoh dan kita jadikan suri tauladan.
Diantaranya, imam nawawi adalah
orang yang giat menuntut ilmu dan sangat sangat mencintai ilmu pengetahuan,
seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa dalam usia 15 tahun, imam nawawi
sudah bisa mengajar,bahkan berangkat haji dan menuntut ilmu di mekah.
Beliau
tidak pernah puas dengan ilmu yang di dapatnya, oleh karena itu selalu belajar
dan berguru dari satu tempat ke tempat lain, yaitu tempat ulama’.
Dengan
banyaknya ilmu yang beliau miliki, banyak pula karya-karya yang beliau
hasilkan, banyak pula ulama’-ulama’,dan tokoh-tokoh islam terkenal di Indonesia
yang berguru pada imam nawawi.
Hal ini
bisa kita jadikan motovasi pada diri kita agar kita lebih giat lagi dalam
belajar, agar prestasi kita bisa seperti imam nawawi, tidak ada yang tidak
mungkin, kalau kita belajar sungguh-sungguh pasti kita bisa seperti beliau.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Imam
nawawi adalah sosok ulama’ yang sangat tersohor karena kecerdasanya, beliau
berasal dari banten, beliau belajar agama pada ayahnya kemuian kepada ulama’-ulama’
besar di Indonesia lalu belajar lagi di mekah.
Karya-karya
imam nawawi sangatlah banyak dan sangatlah memberikan dampak yang besar bagi
kemajuan islam di Indonesia. Karya-karyanya meliputi bidang tafsir,
tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika.
Imam nawai
adalah sosok yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sejak kecil, beliau tidak
puas dengan ilmu yang di dapatnya, untuk itu beliau selalu mencari ilmu kesana
kemari untuk menambah pengetahuanya, dan ahirnya beliau bisa menjadi sosok yang
sangat berpengaruh dalam kemajuan islam di Indonesia.
3.2.Saran
Tiada gading yang tak rentak begitulah
kata pepatah. Seperti halnya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu kritik saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapan
agar makalah ini bisa menjadi referensi dalam pembelajaran sejarah peradaban
islam.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar