BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penyusunan
Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia.
Begitu pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam
mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang
banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al
Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami menyusun
makalah yang berjudul Filsafat Al Ghazali sebagai kontribusi kecil kami dalam
menambah khazanah keilmuan. Selain itu, ini juga sebagai bentuk tanggung jawab
kami dalam memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Filsafat Islam.
B.
Rumusan Masalah
Masalah
yang kami angkat dalam makalah ini sebagai berikut:
- Bagaimana Riwayat Hidup Al
Ghazali?
- Apa Saja Karya-karya yang
pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali?
- Bagaimanakah Filsafat Al
Ghazali?
- Apakah Pemikiran-pemikiran Al
Ghazali Berpengaruh terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya? Jika ya,
seperti Apakah Pengaruhnya?
C.
Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun
tujuan dari pembahasan masalah di atas adalah sebagai berikut:
- Mengetahui Riwayat Hidup Al
Ghazali.
- Mengetahui Karya-karya yang
pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali.
- Mengetahui Pemikiran-pemikiran
Al Ghazali.
- Mengetahui Pengaruh
Pemikiran-pemikiran Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya.
D.
Metode Penyusunan
Metode
yang kami gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode Kaji Pustaka.
BAB II
AL GHAZALI (1058-1111 M)
A.
Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali,
lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat
Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).[1] Nama
Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang, karena
pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga diambil
dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah yang
banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada
pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang
tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia
juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi
seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya
untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum
ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
Ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya yang
bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan
dibimbingnya dengan baik.
Ayahnya menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.
Ayahnya menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang
menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar
dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu
adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar
di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat
ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al
Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah
Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme
dan ilmu-ilmu alam.[3]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al
Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al
Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia
pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di
kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil.
Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat
dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam
dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105
M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut,
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak
selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan,
pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang
diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.
Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya
serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia
menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke
Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan
sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr
yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut
kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di
Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai
ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan
ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.
B.
Karya-karya Imam Al Ghazali
Rampung
dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat
filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan
banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali
menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di
antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam dan
pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian
alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia pun menentang argumen
para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil
adanya penyelewengan.
Al
Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang
mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum
filosof. Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang
ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya
tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan
dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam
a)
Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan
para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah filsafat.
b)
Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran
para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan
Al Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan keras.
c)
Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
d)
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang
berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
e)
Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat
dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali dan
merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
f)
Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan
yang rasional).
g)
Misykat Al Anwâr (lampu yang bersinar
banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
h)
Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan mengabdikan
diri pada Tuhan).
i)
Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi
dalam akidah).
j)
Ayyuhâ Al Walad (wahai anak).
k)
Al Mustasyfa (yang terpilih).
l)
Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
m)
Mizan Al ‘Amal (timbangan amal).
C.
Filsafat Imam Al Ghazali
1. Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali memandang metafisika (ketuhanan) dengan memberi
reaksi keras terhadap Neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para
filosof, karena mereka tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk
itu, Al Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neoplatonisme muslim (Al
Farabi dan Ibn Sina) serta secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru
mereka. Menurut Al Ghazali, dalam Tahâfut Al Falâsifah, para pemikir bebas
tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan
dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak
berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Pandangan
Al Ghazali tentang filsafat ketuhanan terdiri dari tiga masalah pokok, yaitu:
a.
Masalah Wujud
Al Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari, dalam
menetapkan wujud Tuhan. Beliau menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua bentuk,
yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui
perenungan terhadap ayat-ayat Al Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba
teratur, manusia akan sampai pada pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia
mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadîm,
sedangkan wujud makhluk adalah hadîts (baru). Wujud hadîts menghendaki sebab
gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab
ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan
digerakkan. Sedangkan jika wujud Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab
musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya.
Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b.
Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat Tuhan
dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia memikirkan
dzat Allah SWT. Dari itu, beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak akan
sampai mencapai dzat itu. Cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat af’âlnya
saja. Sedangkan dalam membahas sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung mengikuti para
mutakallimîn dari madzhab Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat dzat yang
diistilahkan dengan sifat salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak
sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah ini ada lima,
yaitu: Qidâm (tidak berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al Hawâdits (berlainan dengan
yang baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini menafikan kesempurnaan makhluk dan
menetapkan kesempurnaan Allah SWT. Selain sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni
(sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya
sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT. dan tidak dapat dipisahkan dari
dzatnya. Sifat ma’âni ada tujuh yaitu: Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha
Berkehendak), ‘Ilmu (Maha Mengetahui), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha
Melihat), Kalam (Maha Berbicara) dan Hayat (Maha Hidup).
c.
Masalah Af’al
Al Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT. tidak
terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari
kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak
Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas dan tidak akan
melampaui garis-garis qadar. Dalam menguraikan af’al ini, Al Ghazali mengembalikan
permasalahan kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Fâthir ayat 8.
2.
Tashawuf Al Ghazali
Al Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada
kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.
Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan
siap yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada
argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas…
Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari
seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa
satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al
Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan
Tashawuf. Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan
filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah,
Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid Umawi di
Damaskus.
Tashawuf Al Ghazali berbeda dengan tashawuf yang berkembang
saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme)
dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya
tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut,
tashawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
3.
Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali
Tujuan dari butir-butir nilai akhlâq yang dikemukakannya
adalah sebagai sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti
membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena
menurutnya, akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat ketuhanannya.
Menurut Al Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat
persamaan antara Imam Al Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus
dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia
merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof
lainnya, Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an
nafs al bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an nafs as
sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an nâthiqah) yang berasal dari ruh Tuhan
yang tidak akan hancur. Al Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang
terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan
keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan
untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi
terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk
terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât al
mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam
daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat dicapai dengan
penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salahsatu karya Al Ghazali yang
mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat dikatakan bahwa
filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf Al Ghazal, yang bertujuan pokok:
Maksudnya bahwa manusia semampunya meniru keteladanan
sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta
sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas,
beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya
pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani
serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan
dari akhlâq luhur adalah menahan diri dari mencintai dunia wujud dan
mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai Allah SWT.
Al Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya
adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya.
Sebagaimana prinsip Islam, Al Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang
berkuasa dan sangat memelihara dan menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub
pada Allah, yang terpenting adalah muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan
menurut Al Ghazali ada dua, yaitu kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui
kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber
dari segala kebahagiaan itu sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al
qalb).
D.
Pengaruh Pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi
Sesudahnya
Pemikiran
Al Ghazali banyak mempengaruhi pada masa setelahnya, karena sesuai dengan
ajaran Islam. Ia mendapat gelar Hujjatul Islâm karena jasanya dalam
mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan dari pihak
luar, baik Islam maupun orientalis Barat.
Pemikiran
Al Ghazali dan Ibn Rusyd pada dasarnya memiliki satu garis kesamaan, yaitu
sebuah garis yang berangkat dari titik pemikiran Ibn Sina dengan aliran
filsafat yang memiliki bangun dasar wahdatul wujûd. Al Ghazali mengemukakan
bahwa para filosof yang mengajarkan tiga hal (keabadian alam, pengetahuan Tuhan
yang universal dan menolak bangkitnya jasad setelah mati) adalah kafir,
termasuk yang mengikutinya.
Beberapa
filosof yang terpengaruhi pemikiran-pemikiran Al Ghazali dari karya-karyanya,
yaitu:
B Mic Donal
menerjemahkan beberapa pasal dari Ihyâ` ‘Ulûmuddîn.
H Baeur yang
menterjemahkan Qawâ’id Al ‘Aqâ`id ditransfer ke dalam bahasanya, yaitu Dogmatic
Al Ghazali’s.
Carra De Vaux
yang menterjemahkan buku Tahâfut Al Falâsifah.
De Boer dan Asin Palacois
yang masing-masing menterjemahkan Tahâfut Al Falâsifah.
Barbier De
Minard yang menterjemahkan Al Munqizhu min Adl Dlalâl.
WHT. Craidner,
London yang menterjemahkan buku Miskat Al Anwâr.
BAB III
KESIMPULAN
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn
Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Lahir di Provinsi Khurasan,
Republik Islam Irak, tahun 450 H (1058 M). Ayahnya adalah memintal benang wol.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum
ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan
Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil, Al Ghazali
dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini kemudian memberinya
gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun Al Ghazali
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari
hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad
menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri
untuk beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil
Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas
pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum
bâthiniyyah dan kaum filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam
ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi: Maqâshid Al Falâsifah,
Tahâfut Al Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm, Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn, Al Munqidz Min Adl
Dlalâl, Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat Al Anwâr, Minhaj Al ‘Âbidîn, Al
Iqtishâd fî Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al Mustasyfa, Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm
Al Kalâm dan Mizan Al ‘Amal.
Filsafat Imam Al Ghazali meliputi Filsafat Ketuhanan
(Masalah Wujud, Dzat dan Sifat serta Af’al); Tashawuf Al Ghazali, tidak
melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya
tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan
hasil-hasil argumen Ilmu Kalam; Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali. Akhlâq
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan
tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: an nafs
al bahîmiyyah an nafs as sabû’iyyah dan an nafs an nâthiqah. Ia pun mengenalkan
konsep jalan lurus (ash shirât al mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus
daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada mata pisau. Filsafat etika Al
Ghazali adalah Tashawuf Al Ghazal, yang bertujuan pokok:??????? ???????? ????
??? ???? ???????. Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya
pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani
serta latihan-latihan. Al Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya
adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya.
Al Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa
dan sangat memelihara dan menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Adapun kesenangan menurut
Al Ghazali ada dua, yaitu kepuasan dan kebahagiaan. Pemikiran Al Ghazali banyak
mempengaruhi pada masa setelahnya. Beberapa filosof yang terpengaruhi
pemikiran-pemikiran Al Ghazali dari karya-karyanya, yaitu: B Mic Donal, H
Baeur, Carra De Vaux, De Boer dan Asin Palacois, Barbier De Minard dan WHT.
Craidner.
Footnote
:
1)
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hlm. 155.
2)
Hasyimiyah Nasution. 1999. Filsafat
Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. hlm. 77.
3)
Ahmad Syadani. 1997. Filsafat Umum.
Bandung: Pustaka Setia. hlm. 178.
4)
Yunasril Ali. 1991. Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 67.
5)
Ibid. hlm. 68.
6)
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya.
2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri. hlm. 91-92.
7)
Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam.
Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 224.
8)
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan
Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 31.
9)
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 74.
10)
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas
Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 33.
11)
Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al
Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif. hlm. 56-57.
12)
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat
Islam. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 137.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi
dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.
Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.
Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif.
Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyim Syah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Syadali, Ahmad Mudzakir, dkk. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyim Syah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Syadali, Ahmad Mudzakir, dkk. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar